Cari Blog Ini

Kamis, 03 November 2011

Konsep Sanksi Pidana Kerja Sosial di Tinjau dari Perspektif Tujuan Pidana di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hukum adalah suatu norma yang mengatur pergaulan manusia dalam bermasyarakat. Perkembangan hukum tidaklah terlepas dari perkembangan pola pikir manusia yang menciptakan hukum tersebut untuk mengatur dirinya sendiri.
Hukum ada pada setiap masyarakat di manapun di muka bumi. Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa di pisahkan dengan masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik.[1]
Manusia menciptakan hukum untuk mengatur dirinya sendiri, demi terciptanya ketertiban, keserasian dan ketentraman dalam pergaulan masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat yakni pertama, sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu. [2]
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam kehidupan bernegara, salah satu yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan ini diyakini tidak hanya disebabkan dianutnya paham negara hukum, melainkan lebih melihat secara kritis kecenderungan yang terjadi di dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berkembang ke arah masyarakat modern.[3]
Hukum sebagai salah satu aspek kehidupan manusia tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Laju perkembangan masyarakat yang di tunjang dengan ilmu dan teknologi modern akan selalu menuntut diadakannya usaha-usaha pembahuaruan hukum, agar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku senantiasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya. Salah satu bagian dari pembaharuan hukum pidana materiil adalah pembaharuan terhadap KUHP. Ada tiga materi yang disusun dalam konsep yaitu:[4]
a.       Masalah tindak pidana
b.      Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana
c.       Masalah pidana dan pemidanaan.
Masalah tindak pidana, konsep bertolak pada asas legalitas, tetapi juga memperluasnya secara materiil bahwa ketentuan asas legalitas tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat terhadap perbuatan yang secara  materiil merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam menentukan tindak pidana tidak lagi mengenal pembedaan antara pelanggaran dan kejahatan.[5]
Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dalam konsep prinsipnya bertolak dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault), namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang sangat ketat (strict liability) dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Dalam konsep RUU KUHP, pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, hanya dibatasi untuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), sedangkan jika terjadi kealpaan (culpa) pertanggungjawabannya merupakan pengecualian.[6]
Masalah pidana dan pemidanaan, menurut konsep, tujuan pemidanaan adalah untuk perlindungan masyarakat, dan perlindungan individu pelaku tindak pidana. Konsep bertolak pada pemikiran keseimbangan (monodualistik) antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Pokok pemikiran yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, dapat dilihat dari dipertahankannya pidana mati walaupun tidak dimasukkan ke dalam pidana pokok tetapi ditempatkan tersendiri sebagai pidana yang bersifat khusus.
Memang tidaklah mudah untuk mengadakan pembaharuan hukum pidana. Hukum pidana sejak awal perkembangan selalu menyangkut harkat dan martabat manusia. Hukum pidana dalam pertumbuhannya memang diarahkan pada perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu pembaharuan hukum tidak cukup hanya menyangkut substansinya saja tetapi berkaitan dengan nilai-nilai yang ada. Pembaharuan hukum pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Terjadinya transformasi konseptual dalam sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dari konsepsi retribusi ke arah konsep reformasi, ikut mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi. Konsep pemidanaan yang hanya berorientasi terhadap pembalasan (punishment to punishment) telah digantikan dengan konsep pembinaan (treatment philosophy).
Pidana penjara membawa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) seringkali berfungsi sebagai “tempat kuliahnya para penjahat” yang akan melahirkan penjahat yang lebih profesional. Dengan lahirnya penjahat profesional ini, pada gilirannya juga akan menambah beban kepada masyarakat karena timbulnya ancaman yang lebih besar.[7]
Pidana penjara juga memberikan efek negatif berupa dehumanisasi dimana terpidana mendapat proses pengasingan dari masyarakat selama kehilangan kemerdekaan bergerak. Oleh karenanya terpidana membutuhkan proses adaptasi sosial yang rumit atau sosialisasi dengan masyarakat untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.[8]
Pidana penjara yang sifatnya custodial (penahanan) sering dipersoalkan masalah keefektifannya. Disamping dipersoalkan akibat-akibat negatif dari pidana penjara. Adanya kritik terhadap segi-segi negatif dari pidana penjara (custodial), telah menimbulkan gelombang usaha baru untuk mencari bentuk-bentuk alternatif dari pidana penjara. Sementara ini usaha itu dibarengi pula dengan adanya kecenderungan dalam praktek untuk menghindari atau membatasi penerapan pidana penjara, antara lain dengan alternatif tindakan-tindakan non-custodial.
Salah satu jenis sanksi non-custodial yang sering ditawarkan pada tahap peradilan adalah Pidana Kerja Sosial sebagai sebuah sanksi pidana. Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, pidana kerja sosial telah diadopsi dalam Rancangan KUHP.[9]
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang pidana kerja sosial yang menjadi salah satu bentuk pidana yang ada dalam pembaharuan hukum pidana nasional dengan judul : Konsep Sanksi Pidana Kerja Sosial Dalam Perspektif Tujuan Pidana di Indonesia”.
B.       Permasalahan
Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.
Fungsi sanksi dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku.[10]
Oleh karena itu, maka penulis mengambil suatu permasalahan yaitu : Dapatkah Konsep Sanksi Pidana Kerja Sosial Diterapkan di Indonesia Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan?”


[1]Riduan Syarani.  Rangkuman Instisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 27.
[2]Ibid, Hal. 7.
[3]Teguh Prasetiyo & Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005. Hal. 6.
[4]Yesmil Anwar dan Adang. Pembaharuan Hukum Pidana, Grasindo Persada, Jakarta, 2008. Hal. 31-32.
[5]Ibid.
[6]Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada, Jakarta, 2006, Hal. 34.
[7]Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Pidana Di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001, Hal. 49.
[8]Ibid
[9]Pasal 65 ayat 1 RUU KUHP 2008, pidana pokok terdiri atas : a) pidana penjara; b) pidana tutupan; c) pidana pengawasan; d) pidana denda; e) pidana kerja sosial.
[10]M. Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hal. 162.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar