BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum adalah suatu norma yang mengatur
pergaulan manusia dalam bermasyarakat. Perkembangan hukum tidaklah terlepas
dari perkembangan pola pikir manusia yang menciptakan hukum tersebut untuk
mengatur dirinya sendiri.
Hukum
ada pada setiap masyarakat di manapun di muka bumi. Primitif dan modernnya
suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan
(eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa di pisahkan dengan
masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik.[1]
Manusia
menciptakan hukum untuk mengatur dirinya sendiri, demi terciptanya ketertiban,
keserasian dan ketentraman dalam pergaulan masyarakat. Menurut Soerjono
Soekanto, hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat
yakni pertama, sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai
sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai
sarana untuk menciptakan keadaan tertentu. [2]
Dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Dalam kehidupan bernegara, salah satu yang harus ditegakkan
adalah suatu kehidupan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan ini
diyakini tidak hanya disebabkan dianutnya paham negara hukum, melainkan lebih
melihat secara kritis kecenderungan yang terjadi di dalam kehidupan bangsa
Indonesia yang berkembang ke arah masyarakat modern.[3]
Hukum sebagai salah satu aspek kehidupan manusia tumbuh dan
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Laju perkembangan masyarakat
yang di tunjang dengan ilmu dan teknologi modern akan selalu menuntut
diadakannya usaha-usaha pembahuaruan hukum, agar ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku senantiasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia
sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan
hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana
materiil dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut
bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam
pelaksanaannya. Salah satu bagian dari
pembaharuan hukum pidana materiil adalah pembaharuan terhadap KUHP. Ada tiga
materi yang disusun dalam konsep yaitu:[4]
a.
Masalah tindak pidana
b.
Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana
c.
Masalah pidana dan pemidanaan.
Masalah tindak
pidana, konsep bertolak pada asas legalitas, tetapi juga memperluasnya secara
materiil bahwa ketentuan asas legalitas tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup di dalam masyarakat terhadap perbuatan yang secara materiil merupakan
perbuatan melawan hukum. Dalam menentukan tindak pidana tidak lagi mengenal
pembedaan antara pelanggaran dan kejahatan.[5]
Masalah kesalahan
atau pertanggungjawaban pidana, dalam konsep prinsipnya bertolak dari
pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault),
namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya
pertanggungjawaban yang sangat ketat (strict liability) dan
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Dalam konsep RUU KUHP, pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan,
hanya dibatasi untuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), sedangkan jika terjadi kealpaan
(culpa) pertanggungjawabannya
merupakan pengecualian.[6]
Masalah pidana dan pemidanaan, menurut konsep, tujuan pemidanaan adalah
untuk perlindungan masyarakat, dan perlindungan individu pelaku tindak pidana.
Konsep bertolak pada pemikiran keseimbangan (monodualistik) antara kepentingan masyarakat dan kepentingan
individu. Pokok pemikiran yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat,
dapat dilihat dari dipertahankannya pidana mati walaupun tidak dimasukkan ke
dalam pidana pokok tetapi ditempatkan tersendiri sebagai pidana yang bersifat
khusus.
Memang tidaklah mudah untuk mengadakan pembaharuan hukum
pidana. Hukum pidana sejak awal perkembangan selalu menyangkut harkat dan
martabat manusia. Hukum pidana dalam pertumbuhannya memang diarahkan pada
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu pembaharuan hukum tidak
cukup hanya menyangkut substansinya saja tetapi berkaitan dengan nilai-nilai
yang ada. Pembaharuan hukum pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai
sentral sosial politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia
yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia.
Terjadinya transformasi konseptual dalam sistem pidana dan
pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dari konsepsi retribusi ke arah
konsep reformasi, ikut mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif
pidana yang lebih manusiawi. Konsep pemidanaan yang hanya berorientasi terhadap
pembalasan (punishment to punishment) telah digantikan dengan konsep
pembinaan (treatment philosophy).
Pidana penjara membawa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”.
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) seringkali
berfungsi sebagai “tempat kuliahnya para penjahat” yang akan melahirkan
penjahat yang lebih profesional. Dengan lahirnya penjahat profesional ini, pada gilirannya juga akan
menambah beban kepada masyarakat karena timbulnya ancaman yang lebih besar.[7]
Pidana penjara juga memberikan efek negatif berupa dehumanisasi dimana
terpidana mendapat proses pengasingan dari masyarakat selama kehilangan
kemerdekaan bergerak. Oleh karenanya terpidana membutuhkan proses adaptasi
sosial yang rumit atau sosialisasi dengan masyarakat untuk kembali menjadi
anggota masyarakat yang baik.[8]
Pidana penjara yang sifatnya custodial (penahanan) sering
dipersoalkan masalah keefektifannya. Disamping dipersoalkan akibat-akibat
negatif dari pidana penjara. Adanya kritik terhadap segi-segi negatif dari
pidana penjara (custodial), telah
menimbulkan gelombang usaha baru untuk mencari bentuk-bentuk alternatif dari
pidana penjara. Sementara ini usaha itu dibarengi pula dengan adanya
kecenderungan dalam praktek untuk menghindari atau membatasi penerapan pidana
penjara, antara lain dengan alternatif tindakan-tindakan non-custodial.
Salah satu jenis sanksi non-custodial yang sering ditawarkan
pada tahap peradilan adalah Pidana Kerja Sosial sebagai sebuah sanksi pidana.
Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, pidana kerja sosial telah diadopsi
dalam Rancangan KUHP.[9]
Berdasarkan uraian
di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang pidana kerja sosial yang
menjadi salah satu bentuk pidana yang ada dalam pembaharuan hukum pidana
nasional dengan judul : “Konsep
Sanksi Pidana Kerja Sosial
Dalam Perspektif Tujuan Pidana di Indonesia”.
B. Permasalahan
Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak
dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat
manusia. Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan
hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan
individu dari pelaku tindak pidana.
Fungsi sanksi
dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para
pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus
dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku.[10]
Oleh karena itu, maka penulis mengambil suatu permasalahan
yaitu : “Dapatkah Konsep
Sanksi Pidana Kerja Sosial Diterapkan
di Indonesia Ditinjau Dari
Tujuan Pemidanaan?”
[3]Teguh Prasetiyo & Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum
Pidana, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005. Hal. 6.
[6]Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana
Prenada, Jakarta, 2006, Hal. 34.
[7]Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan
Pidana Di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001, Hal. 49.
[8]Ibid
[9]Pasal 65 ayat 1 RUU KUHP
2008, pidana pokok terdiri atas : a)
pidana penjara; b) pidana tutupan; c) pidana pengawasan; d) pidana denda; e)
pidana kerja sosial.
[10]M. Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007, Hal. 162.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar